Mencari Kebenaran
(kisah Penuh inspirasi: Salman
al-Farisi)
Marilah
kita simak Salman menceritakan pengalamannya selama mengembara mencari agama
yang hak itu. Dengan ingatannya yang kuat, ceritanya lebih lengkap, terperinci
dan lebih terpercaya.
Pada suatu hari
bapak pulang ke desa untuk suatu urusan penting. Beliau berkata kepadaku, “Hai
anakku! Bapak sekarang sangat sibuk. Kerana itu pergilah engkau mengurus
perkebunan kita hari ini menggantikan Bapak‟‟
Aku pun pergi ke
kebun kami. Dalam perjalanan ke sana aku melewati sebuah gereja Nasrani. Aku
mendengar suara mereka sedang sermbahyang. Suara itu sangat menarik
perhatianku.
Sebenarnya
aku belum mengerti apa-apa tentang agama Nasrani dan agama-agama lain. Kerana
selama ini aku dikurung bapak di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapa saja.
Maka ketika aku mendengar suara mereka, aku masuk ke gereja itu untuk
mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Setelah kuperhatikan, aku kagum
dengan cara sembahyang mereka dan ingin masuk agamanya.
Kataku, Demi
Allah! ini lebih bagus daripada agama kami. Aku tidak beranjak dari gereja itu
sampai petang. Sehingga aku tidak jadi pergi ke kebun.
Aku bertanya
kepada mereka, “Dari mana asal agama ini?” “Dari Syam (Syria),” jawab
mereka. Setelah hari senja, barulah aku pulang. Bapak menanyakan urusan kebun
yang ditugaskan beliau kepadaku.
Jawabku,
“Wahai, Bapak! Aku bertemu dengan orang sedang sembahyang di gereja. Aku
kagum melihat mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang
seperti itu. Kerana itu aku senantiasa berada di gereja mereka sampai petang.”
Bapak
memperingatkanku akan perubatanku itu. Katanya, “Hai, anakku! Agama Nasrani
itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu (Majusi) lebih baik
dari agama Nasrani itu!”
Jawabku, “Tidak!
Demi Allah! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari agama kita.”
Bapak
kuatir dengan ucapanku itu. Dia takut kalau aku murtad dari agama Majusi yang
kami anut. Kerana itu dia mengurungku dan membelenggu kakiku dengan rantai.
Ketika aku beroleh
kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang Nasrani minta tolong kepada
mereka, bila ada kafilah yang hendak pergi ke Syam supaya memberi tahu
kepadaku. Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu kafilah yang
hendak pergi ke Syam. Mereka memberitahu kepadaku. Maka kuputus rantai yang
membelenggu kakiku sehingga aku bebas. Lalu aku pergi bersama-sama kafilah itu
ke Syam.
Sampai di sana aku
bertanya kepada mereka, “Siapa kepala agama
Nasrani di
sini?” “Uskup yang menjaga” jawab mereka.
Aku
pergi menemui Uskup seraya berkata kepadanya, ―Aku tertarik masuk agama
Nasrani. Aku bersedia menadi pelayan Anda sambil belajar agama dan sembahyang
bersama-sama Anda.‖ “Masuklah!” kata Uskup. Aku masuk, dan membaktikan
diri kepadanya sebagai pelayan. Belum begitu lama aku membaktikan diri
kepadanya, tahulah aku Uskup itu orang jahat. Dia menganjurkan jama‘ahnya
bersedekah dan mendorong ummatnya beramal pahala. Bila sedekah mereka telah
terkumpul tangan Uskup, disimpannya saja dalam perbendaharaannya tidak dibagi-
bagikannya kepada fakir miskin sehingga kekayaannya telah menumpuk sebanyak
tujuh peti emas. Aku sangat membencinya karena perbuatannya yang memperkaya
diri sendiri itu. Tidak lama kemudian iapun meninggal. Orang-orang Nasrani
berkumpul hendak menguburkannya.
Aku
berkata kepada mereka, “Pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian
bersedekah dan digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh.
Tapi bila kalian berikan sedekah kepadanya disimpannya saja untuk dirinya,
tidak satupun yang diberikannya kepada fakir miskin.”
Tanya mereka, “Bagaimana
kamu tahu demikian?” Jawabku, “Akan kutunjukkan kepada kalian
simpanannya.”
Kata
mereka, “Ya, tunjukkanlah kepada kami!”
Maka kuperlihatkan
kepada mereka simpanannya yang terdiri dan tujuh peti, penuh berisi emas dan
perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka berkata, “Demi Allah! Jangan
dikuburkan dia!”
Lalu
mereka salib jenazah uskup itu, kemudian mereka lempari dengan batu. Sesudah
itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri
kepadanya. Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud daripadanya. Dia sangat
membenci dunia tetapi sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang
malam. Kerana itu aku sangat menyukainya, dan lama tinggal bersamanya.
Ketika ajalnya
sudah dekat, aku bertanya kepadanya, “Wahai Bapak ! Kepada siapa Bapak
mempercayakanku seandainya Bapak meninggal. Dan dengan siapa aku harus berguru
sepeninggal bapak ?”
Jawabnya,
“Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan
seorang pendeta
di Mosul, yang belum merubah dan menukar-nukar ajaran- ajaran agama yang murni.
Hubungi dia di sana!”
Maka tatkala
guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di Mosul.
Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah me ninggal itu.
Kata pendeta
Mosul, “Tinggailah bersama saya.” Aku tinggal bersamanya. Ternyata dia
pendeta yang baik. Ketika dia hampir meninggal, aku berkata kepada nya,
―Sebagaimana pak cik ketahui, mungkin ajal pak cik sudah dekat. Kepada siapa
pak cik dapat mempercayakan ku seandainya pak cik sudah tak ada?‖
Jawabnya,
“Hai, anakku! Demi Allah! Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali
seorang pendeta di Nasibin. Hubungilah dia!”
Ketika pendeta
Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di
Nasibin. Kepadanya
kuceritakan pengalamanku serta pesan pendeta Mosul.
Kata pendeta
Nasibin, “Tinggallah bersama kami!”
Setelah aku
tinggal di sana, ternyata pendeta Nasibin itu memang baik. Aku mengabdi dan
belajar kepadanya sampai dia wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku berkata
kepadanya, ―Bapak sudah tahu perihalku Maka kepada siapa Bapak dapat
mempercayakanku seandainya Bapak meninggal?‖
Jawabnya,
“Hai, anakku! Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang teguh
agamanya, kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuria. Hubungilah dia!”
Aku pergi
menghubungi pendeta di Amuria itu. Maka kuceritakan kepadanya pengalamanku.
Katanya, “Tinggallah
bersama kami!”
Dengan
petunjuknya, aku tinggal di sana sambil mengembala kambing dan sapi. Setelah
guruku sudah dekat pula ajalnya, aku berkata kepadanya, “Anda sudah tahu
urusanku. Maka kepada siapakah lagi aku akan anda percayakan seandainya Anda
meninggal dan apakah yang harus kuperbuat?”
Katanya,
“Hai, anakku! Setahuku tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berpegang
teguh dengan agama yang murni seperti kami. Tetapi sudah hampir tiba masanya, di
tanah Arab akan muncul seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama Nabi
Ibrahim. Kemudian dia akan pindah ke negeri yang banyak pohon kurma di sana,
terletak antara dua bukit berbatu hitam. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang
jelas. Dia mahu menerima dan memakan hadiah, tetapi tidak mahu menerima dan
memakan sedekah. Di antara kedua bahunya terdapat cap kenabian. Jika engkau
sanggup pergilah ke negeri itu dan temuilah dia!”
Setelah
pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu
waktu serombongan saudagar Arab dan kabilah ―kalb‖ lewat di sana. Aku berkata
kepada mereka, ―Jika kalian mahu membawaku ke negeri Arab, aku berikan kepada
kalian semua sapi dan kambing-kambingku.‖
Jawab mereka, “Baiklah!
Kami bawa engkau ke sana.”
Maka
kuberikan kepada mereka sapi dan kambing peliharaanku semuanya. Aku dibawanya
bersama-sama mereka. Sesampainya kami di Wadil Qura aku ditipu oleh mereka. Aku
dijual mereka kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan
Yahudi itu dan berkhidmat kepadanya sebagai budak belian. Pada suatu hari anak
paman majikanku datang mengunjunginya, iaitu Yahudi Bani Quraizhah, lalu aku
dibelinya kepada majikanku. Aku pindah dengan majikanku yang baru ini ke
Yatsrib. Di sana aku melihat banyak pohon kurma seperti yang diceritakan
guruku, Pendeta Amuria. Aku yakin itulah kota yang dimaksud guruku itu. Aku
tinggal di kota itu bersama majikanku yang baru.
Ketika
itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi beliau masih berada di Makkah
menyeru kaumnya. Namun begitu aku belum mendengar apa- apa tentang kehadiran
serta da‘wah yang beliau lancarkan kerana aku selalu sibuk dengan tugasku
sebagai budak. Tidak berapa lama kemudian, Rasulullah pindah ke Yatsrib. Demi
Allah! Ketika itu aku sedang berada di puncak pohon kurma melaksanakan tugas
yang diperintahkan majikanku. Dan majikanku itu duduk di bawah pohon. Tiba-tiba
datang anak bapa saudaranya mengatakan, ―Biar mampus Bani Qaiah! Demi Allah!
Sekarang mereka berkumpul di Quba‘ menyambut kedatangan laki-laki dari Makkah
yang mendakwa dirinya Nabi.‖
Mendengar
ucapannya itu badanku terasa panas dingin seperti demam, sehingga aku menggigil
kerananya. Aku khawatir akan jatuh dan tubuhku bisa menimpa majikanku. Aku
segera turun dari puncak pohon, lalu bertanya kepada tamu itu, “Apa khabar
Anda? Cubalah khabarkan kembali kepadaku!”
Majikanku marah
dan memukulku seraya berkata, “Ini bukan urusanmu! Kerjakan tugasmu
kembali!”
Besok
kuambil buah kurma seberapa yang dapat kukumpulkan. Lalu kubawa ke hadapan
Rasulullah.
Kataku “Aku
tahu Anda orang saleh. Anda datang bersama-sama sahabat Anda sebagai perantau
Inilah sedikit kurma dariku untuk sedekah bagi Anda. Aku lihat Andalah yang
lebih berhak menerimanya daripada yang lain-lain.” Lalu aku sodorkan kurma
itu kehadapannya.
Beliau
berkata kepada para sahabatnya, “silakan kalian makan,…!” Tetapi beliau
tidak menyentuh sedikit juga makanan itu apalagi untuk memakannya. Aku berkata
dalam hati, ―Inilah satu di antara ciri cirinya!‖
Kemudian aku pergi
meninggalkannya dan kukumpulkan pula sedikit demi sedikit kurma yang dapat
kukumpulkan. Ketika Rasulullah pindah dari Quba‘ ke Madinah, kubawa kurma itu
kepada beliau.
Kataku,
“Aku lihat Anda tidak mahu memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit
kurma, sebagai hadiah untuk Anda.”
Rasulullah memakan
buah kurma yang kuhadiahkan kepadanya. Dan beliau mempersilakan pula para
sahabatnya makan bersama-sama dengan dia. Kataku dalam hati, ―Ini ciri kedua!‖
Kemudian kudatangi
beliau di Baqi‘, ketika beliau mengantarkan jenazah sahabat beliau untuk
dimakamkan di sana. Aku melihat beliau memakai dua helai kain. Setelah aku
memberi salam kepada beliau, aku berjalan mengitari sambil menengok ke punggung
beliau, untuk melihat cap kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya beliau tahu
maksudku. Maka dijatuhkannya kain yang menyelimuti punggungnya, sehingga aku
melihat dengan jelas cap kenabiannya.
Barulah aku yakin,
dia adalah Nabi yang baru diutus itu. Aku langsung menggumulnya, lalu kuciumi
dia sambil menangis.
Tanya Rasulullah, “Bagaimana
kabar Anda?”
Maka kuceritakan
kepada beliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan menganjurkan supaya
aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat beliau. Lalu
kuceritakan pula kepada mereka. Mereka sangat kagum dan gembira mendengar kisah
pengalamanku.
Berbahagialah
Salman Al-Farisy yang telah berjuang mencari agama yang hak di setiap tempat.
Berbahagialah Salman yang telah menemukan agama yang hak, lalu dia iman dengan
agama itu dan memegang teguh agama yang diimaninya itu. Berbahagialah Salman
pada hari kematiannya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali kelak.
KESIMPULAN :
Salman
Al-Farisy merupakan sahabat yang patut kita teladani atas kesungguhanya mencari
kebenaran atas apa yang telah dia yakini kuat dalam hatinya. Mungkin beberapa
fase kehidupan sebelum kita bergabung dalam forum lingkaran yang insyaAlloh
diberbakahi Alloh SWT. Karena semangat kita untuk saling bergerak menuju
kebaikan dan saling menasehati untuk perbaikan. Mungkin ada yang dulunya masih
sering GALAU gara-gara putus sama pacarnya, pernah nyontek pas ujian, sering
nerobos lampu merah, bolos sekolah/kuliah dll. Tapi Itu adalah sekeping bagian
kehidupan yang tak kan pernah bisa dirubah, dan kita yakin setiap orangpun
pernah mengalami fase kehidupan seperti itu. Pertama dan yang utama harus
dipahami bahwa masa lalu adalah sebagai sebuah objek dan diri kita adalah
sebagai subjek. Tergantung bagaimana kita memandang masa lalu sebagai apa.
Apakah sebagai suatu renuangan untuk evaluasi diri menjadi pribadi yang lebih
baik atau sebagai suatu hal yang terlalu di banggakan yang menghanyutkan
keproduktifitasan. InsyaAlloh kita sendiri tahu jawabannya masing-masing.
No comments:
Post a Comment